Kamis, 1 Mei 2025 03.25 WIB
Kamis, 1 Mei 2025 03.25 WIB
Pekanbaru (01/05/2025) - Hari Buruh Internasional, yang diperingati setiap tanggal 1 Mei, lahir dari perjuangan panjang kelas pekerja menuntut hak atas jam kerja yang manusiawi dan kondisi kerja yang layak. Di awal abad ke-19, revolusi industri di negara-negara Barat memicu eksploitasi besar-besaran terhadap tenaga kerja. Pekerja di Amerika Serikat kala itu bahkan bekerja hingga 20 jam per hari.
Puncaknya terjadi pada 1 Mei 1886, ketika Federasi Buruh Amerika memprakarsai pemogokan nasional untuk menuntut sistem kerja delapan jam per hari. Di Chicago, protes damai berubah menjadi tragedi dalam insiden Haymarket pada 4 Mei. Peristiwa ini menewaskan beberapa buruh dan polisi, serta mengakibatkan delapan aktivis dihukum mati meski bukti yang ada tidak kuat. Tragedi ini menjadikan 1 Mei sebagai simbol perlawanan global, dan akhirnya ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional oleh Internasional Kedua pada tahun 1889.
May Day kemudian menyebar ke seluruh dunia sebagai hari perlawanan terhadap eksploitasi. Di Indonesia, peringatannya dimulai pada tahun 1920, dan setelah sempat dilarang di era Orde Baru, diakui kembali sebagai hari libur nasional pada tahun 2013.
Sejarah Hari Buruh di Indonesia
Jejak perjuangan buruh di Indonesia dimulai sejak era kolonial, dengan salah satu tonggak penting adalah pemberontakan buruh di Jambi tahun 1916. Peringatan Hari Buruh pertama kali terjadi di Semarang pada 1 Mei 1918 oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee, yang menentang jam kerja panjang dan upah rendah. Gerakan ini sempat meredup pada masa pendudukan Jepang.
Setelah kemerdekaan, Hari Buruh kembali dirayakan. Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 menandai komitmen negara terhadap perlindungan buruh. Namun, rezim Orde Baru menghapus peringatan ini dengan dalih keamanan, dan menggantinya dengan kebijakan pro-pengusaha yang mengekang serikat buruh.
Reformasi 1998 menjadi titik balik. Aksi massa buruh kembali menggema tiap 1 Mei, mendorong pengakuan resmi sebagai hari libur nasional pada tahun 2013.
Potret Buram Hak Buruh di Indonesia
Permasalahan buruh di Indonesia masih struktural dan sistemik. Sistem pengupahan yang ada saat ini dinilai tidak mencerminkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), karena lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan investasi. Skema outsourcing dan kerja kontrak makin menekan kestabilan hidup pekerja.
Selain itu, subsidi kebutuhan dasar seperti listrik dan BBM semakin dikurangi, sementara perumahan dan pendidikan masih belum terjangkau bagi banyak keluarga buruh. Data BPS 2023 mencatat 5,4 juta keluarga buruh masih tinggal di kawasan kumuh.
PHK sepihak, terutama pada pekerja kontrak, menjadi momok. Banyak buruh tidak menerima pesangon meski dijamin undang-undang. Hal ini diperparah dengan sistem jaminan sosial yang masih terbatas cakupannya. Hanya 34 juta dari 138 juta angkatan kerja yang tercakup BPJS Ketenagakerjaan, dan manfaat JHT pun tergolong rendah.
Di sisi lain, pendidikan vokasi yang tidak relevan dengan kebutuhan industri serta meningkatnya otomatisasi memperparah angka pengangguran, yang per Februari 2024 mencapai 7,9 juta orang.
Tuntutan Buruh pada May Day 2025
Pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025, buruh menyuarakan enam tuntutan utama:
Penghapusan Outsourcing: Menolak sistem alih daya yang merugikan pekerja.
Upah Layak: Menuntut penetapan upah berdasarkan kebutuhan hidup riil, bukan semata pertumbuhan ekonomi.
Pembentukan Satgas PHK: Mengawasi dan menindak PHK sepihak tanpa proses adil.
Revisi UU Ketenagakerjaan: Mendesak disahkannya RUU baru yang lebih berpihak pada pekerja.
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT): Memberikan hak-hak dasar bagi pekerja domestik.
Pengesahan RUU Perampasan Aset: Mendukung pemberantasan korupsi untuk membiayai program sosial.
Solusi dan Jalan ke Depan
Pemerintah Indonesia perlu mereformasi secara menyeluruh sistem ketenagakerjaan. Prioritas utama adalah revisi UU Ketenagakerjaan dengan fokus pada:
Penghapusan outsourcing untuk pekerjaan inti.
Penetapan upah minimum berbasis KHL dan produktivitas.
Pembentukan Satgas PHK di setiap daerah.
Pengesahan RUU PPRT dan RUU Perampasan Aset.
Penguatan sistem jaminan sosial universal.
Penyelarasan pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi menciptakan lapangan kerja berkualitas, bukan sekadar meningkatkan akumulasi modal. Kesejahteraan buruh bukan beban negara, melainkan fondasi penting bagi pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
May Day bukan hanya peringatan sejarah, melainkan refleksi abadi atas perjuangan kelas pekerja dalam melawan ketidakadilan. Saat hak-hak buruh masih terpinggirkan, 1 Mei harus terus menjadi momentum perlawanan untuk menegakkan keadilan sosial dan hak konstitusional setiap pekerja.
Penulis: Farhan Syamren Kyoto | Editor: Fuad Fadhillah